Kegaduhan Ihwal Set Top Box
Solopos
Jumat, 9 Desember 2022
halaman 2
Membaca berita ini, saya jadi senyum-senyum sendiri. Dulu, sampai lima tahunan lebih di rumah tidak ada tv. Kami tenteram dan damai karena tidak menggantungkan tv sebagai hiburan dan sumber info/berita.
Di rumah berlangganan koran Solopos, ada media sosial yang kami ikuti. Sumber info bisa dari mana saja. Hiburan juga keluar rumah motoran ke Tawangmangu, Ngargoyoso, berkunjung ke rumah kenalan, jajan receh-receh dan lain-lain.
Namun, sejak pandemi Maret 2020, hampir semua aktivitas dilakukan di rumah. Ramadhan dan Syawal nggak bisa mudik. Pada akhirnya beli tv biar kuota internetnya hemat.
Setelah aktivitas kantor dan sekolah mulai normal, kembali si tv menganggur. Sebab saya jarang nonton tv, kecuali berita tentang Brigadir Joshua. Kalau suami berada di rumah, tv berada pada kekuasaannya. Mulai sepakbola, badminton, voli, tenis, dan olahraga lainnya yang dilihat. Sudah begitu kadang suami tertidur sementara tv masih nyala. Nanti kalau chanel diganti, tiba-tiba dia bangun. "Kok diganti?"
Sebab itulah, sebenarnya di rumah tak butuh-butuh amat tv. Ketika kebanyakan orang panik karena tv analog diputus, saya masih baik-baik saja. Sebab, meski sudah digital pun tapi tv banyak nganggurnya.
Banyak yang panik karena harga set top box melambung tinggi. Permintaan tinggi, jumlah barang sedikit. Itulah alasannya.
Namun, tak selamanya hukum pasar berlaku: jumlah barang sedikit, permintaan besar, harga melambung tinggi.
Lihat saja: BBM. Pasokan melimpah, jumlah pembeli relatif sama banyak, harga malah naik.
Olala...
Nggak nyambung tulisannya. Nggak ada kaitan antara STB dan BBM. Tapi begitulah, kepanikannya sama.
Sabar dulu, nggak perlu "harus beli" STB. Jangan sampai gara gara tak lihat tv terus mati gaya. Yuk, mulai nabung dulu buat beli STB. Nggak usah panik. Biarin aja dulu. Tunggu hukum pasar pada titik: STB berlimpah, sepi pembeli, harga murah.
#catatanimapenulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar