Setelah ibu mertua meninggal, saya merasa ada kelonggaran dalam keuangan. Sebab itulah saya menyarankan suami pergi ke tanah suci untuk melaksanakan umrah. Waktu itu ada perbedaan pendapat antara saya dan suami. Suami menginginkan berhaji dahulu.
Akhir tahun 2011 saya dan suami memiliki sejumlah uang setelah menerima tunjangan profesi guru alias tunjangan sertifikasi. Oleh karena hanya cukup untuk uang muka 1 orang, saya persilakan suami untuk membuka rekening tabungan haji.
"Pokoknya aku daftar dengan kamu. Kalau tidak, cukup ditabung saja."
Saya dan suami memang punya cita-cita segera menunaikan ibadah haji selagi masih muda. Kami tidak berlebihan harta, tapi kami punya prinsip. Apakah karena semuanya sudah baik-baik saja keadaannya? Oh, tidak! Rumah sejak dibangun hingga sekarang pun tidak ada perubahan yang signifikan. Apalagi waktu tahun 2011, sangat jauh dari kata baik-baik saja.
Namun, saya dan suami sengaja tidak mempercantik rumah. Jadi, tetap saja tekad kami mendaftar haji lebih dahulu. Untuk perbaikan rumah, pelan-pelan dan bertahap.
Keputusan saya dan suami segera mendaftar haji pada Januari 2012 adalah tepat. Setelah saya mendaftar, beberapa teman kami juga banyak yang mendaftar. Tentu saja dengan pertimbangan usia mumpung masih muda.
Hikmah yang kami petik:
Beruntung kami tidak menunda-nunda, sehingga masa tunggunya tidak terlalu lama. Kalau tidak ada pandemi covid 19, seharusnya kami berangkat tahun 2020. Alhamdulillah mundur 3 tahun. Artinya di saat saya dan suami berangkat ke tanah suci yang akan datang, anak saya yang besar sudah menyelesaikan kuliahnya. Dengan demikian anak saya bisa mengurus adiknya secara penuh, mendaftarkan adiknya sekolah di SMP dan lain-lain.
00000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar