Ceritanya begini, teman-teman. Saya tidak melakukan umrah bersama teman-teman sebab saya ragu-ragu dengan keluarnya sedikit lendir keruh (bukan fleks). Saya memutuskan untuk bersih dan mandi besar terlebih dahulu. Yang penting saya harus menjaga niat berihram dan menjauhi larangannya.
Tanggal 13 Juni jam 3 Waktu Arab Saudi, saya diantar suami naik ke lantai atas untuk melakukan thawaf. Suami tidak bisa mengantarkan/mendampingi di lantai 1. Sebab suami tidak memakai kain ihram.
Saya melakukan thawaf sendiri, sedangkan suami menunggu salat Subuh dan Shuruq. Setelah putaran ketujuh, saya tak lagi menemukan suami. Saya melanjutkan perjalanan, melakukan sai sendiri. Setelah bertanya pada jemaah haji Indonesia, saya melaksanakan Sa'i dari bukit Shafa ke Marwa dan sebaliknya sebanyak 7 perjalanan.
Selesai sa'i, saya membuka hp. Suami mengirim foto. Captionnya: saya di sini. (Tidak ada keterangan itu shafa atau marwa). Di shafa dan marwa semua ada askar. Jadi, ini shafa atau marwa? Sebab, foto yang diambil tentu akan sama gambar dan posisi askar. Saya menelepon suami. Dia bilang dari Marwa ambil jalan ke kanan ke pintu keluar. Saya menurut. Keluar dan terus berjalan tanpa menggunakan sandal. Saya terus beristigfar dan membaca shalawat. Ya Allah, mudahkan urusan saya.
Saya tetap tidak menemukan suami. Kembali suami mengirim foto. Dia akan mengibarksn jaketnya. Saya bilang, saya tidak paham. Saya minta suami untuk kembali ke Marwa. Sambil menunggu, seorang petugas PPIH mendekati saya.
"Saya dari Kabupaten Karanganyar. Tadi umrah sendiri. Saya terpisah dari suami. Insya Allah nanti bertemu di Marwa."
"Sandal ibu?"
"Dibawa suami. Saya tidak membawa tas."
Petugas PPIH memberi sepasang sandal swallow hijau.
"Terima kasih."
"Ibu sudah sarapan?"
"Belum."
Saya diberi roti berisi cokelat.
"Ibu di sini saja jangan berpindah tempat."
Akhirnya petugas yang ramah tersebut meninggalkan saya. Tak lama kemudian, suami memberi kode. Saya menuju pintu keluar bukit Marwa. Saya lihat suami berbincang dengan seseorang. Setelah orang tersebut pergi, saya memeluk suami. Alhamdulillah.
Tidak ada debat. Kami saling mengevaluasi perjalanan dan drama di hari pertama saya menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Kata suami, "Aku nggak panik. Aku yakin pasti akan ada pertolongan." Istigfar dan istigfar.
Ada rasa bahagia setelah menyelesaikan thawaf dan sa'i. Potong rambut bisa saya lakukan di hotel.
Saya maklum. Suami tipe orang yang suka membantu orang lain. Suami tipe percaya bahwa istrinya bisa mengatasi masalah. Jadi, dia merasa tidak harus mendampingi dan memastikan saya thawaf dan sa'i, sehingga saya dibiarkan mandiri.
Saya juga tidak menyalahkannya. Karena sejak awal sudah tahu dan percaya bahwasanya suami adalah orang pilihan yang mendampingi saya dan keluarga sampai di surga. Bersama sesurga.
Saya jadi tahu. Thawaf di lantai 2 jaraknya lebih jauh dan memakan waktu yang banyak. Kuncinya adalah terus lantunkan doa dan zikir. Toh, 7 putaran akhirnya bisa diselesaikan.
00000
Episode selanjutnya adalah tentang sepasang sandal jepit. Sandal jepit yang berputar.
Pas umroh des 2022 kmrn, aku hari pertama di Madinah terpisah juga mba pas mau ke raudhah. Bertiga waktu itu, aku+tmn+anakku... Sempat panik karena bnr2 blm ngerti+sempat liat iring2an jenazah yang mau dimakamkan... (Wktu itu nggak ngerti klo setiap habis sholat ada pemakaman).
BalasHapusUntung bawa hp, dapat sinyal. Dianterin muthowif masuk ke antrian, bareng sama jamaah negara lain.
Betul. Di Masjidil Haram setelah salat wajib selalu ada salat jenazah. Alhamdulillah, semoga dimudahkan, mbak
HapusMasyaAllah...masyaAllah Buk. Saya kok merinding ya baca. Saya sendiri belum pernah menginjakkan ke sana, jadi dengan tulisan ibuk bisa jadi untuk kewaspadaan kelak kalau ke sana
BalasHapusBetul, mbak. Prinsip saya, ketika tidak bersama suami, saya tidak mau jauh melangkah. Lebih baik saya diam di tempat dan suami yang mencari saya. Satu lagi, hp harus selalu dibawa. Selagi bisa kontak kontakan harus memberi tahu secara informatif. Alhamdulillah, pengalaman yang sangat berharga.
Hapus