Hari Jum'at kemarin saya kedatangan tamu, teman mengajar saat di Tunas Muda. Obrolan kami random. Apa saja menjadi bahan pembicaraan. Namun, saya ingin cerita kami adalah sesuatu yang bisa diambil hikmah. Bukan cerita asal cerita.
Teman saya pernah menjalankan ibadah umroh bersama anak laki-lakinya. Beberapa tahun yang silam, saat akhir bulan puasa hingga beberapa hari setelah idulfitri mereka berada di tanah suci.
"Dulu umrohku biasa saja. Nggak ada kesan seperti cerita banyak orang. Kalau mbakyuku dan bapak, bulan September kemarin umroh, ceritanya istimewa.
Apakah karena satu rombongan jalan sendiri-sendiri dan terkesan ada ngegap. Yang ngegap adalah orang-orang terpandang dan para pejabat. Bertegur sapa saja tidak. Kalau ketemu cuma tersenyum.
Kalau mbakyu saya dan suami, mereka bantu-bantu jamaah orang tua. Bapak juga menceritakan senang untuk ketiga kalinya ke tanah suci."
"Bu, tiap orang tidak mengalami kejadian yang sama di tanah suci. Berangkat bareng, tidur bareng, makan bareng, ke Masjidil Haram bareng. Tapi pengalaman kita beda dengan orang lain.
Contohnya saya dan suami. Berangkat bareng, di sana makan bareng, jalan-jalan bareng, suami punya pengalaman mendampingi lansia dan saya juga punya pengalaman bantu-bantu lansia, tapi pengalamannya beda. Suami tidak mengalami apa yang saya alami atau sebaliknya.
Kami ambil hikmah. Setiap perjalanan kami terkandung pengalaman yang amat mengesankan.
Mungkin njenengan juga punya pengalaman mengesankan tapi njenengan anggap biasa."
"Bisa jadi begitu ya, Bu."
"Ya iyalah. Mosok 14 hari di tanah suci ndak ada pengalaman yang mengesankan?"
00000
Bersyukur, dari Asrama Haji Donohudan sampai pulang ke rumah, sampai sekarang masih lekat dalam ingatan, pengalaman yang mengesankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar