Kamis, 29 Agustus 2024

Jalan Teromantis dari Tenda Mina Menuju Tempat Lontar Jamarat

 


Masih seputar kaki berat melangkah ke masjid padahal rumah dekat masjid. Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyindir orang-orang yang rumahnya dekat masjid. Namun, ini bentuk mengingatkan diri sendiri agar jangan malas salat berjemaah di masjid sepanjang tidak ada uzur.


Dulu ketika suami jarang berjemaah ke masjid, saya bilang, "Bapakku sudah tua (sekarang 82 tahun). Sejak dulu salat berjemaah di masjid. Kadang-kadang ya azan, ya jadi imam. Ibaratnya pahala diborong. Ayah apa nggak malu, mertua sebelum subuh sudah berangkat ke masjid, sedangkan ayah salat subuh padahal di luar sudah terang benderang?"


Alhamdulillah, sejak 2019 suami sudah mulai salat berjemaah di masjid. Waktu pandemi, diterapkan work from home. Jadi, bisa 5 waktu salat di masjid. Kebiasaan salat tepat waktu dan berjemaah di masjid, akhirnya terbawa saat di Mekah dan Madinah.


Sekarang tidak ada alasan malas pergi ke masjid. Kalau capai bisa naik sepeda atau motor. Ya, sebisa mungkin ke masjid. Kalau niat sudah kuat, semua terasa ringan. Bismillah. 


Ujian mau beribadah saat berada di rumah adalah aktivitas remeh yang sayang untuk ditinggalkan. Contoh, belum selesai memasak, mencuci, menyeterika, atau mengerjakan pekerjaan lainnya. Tanggung nih. Lebih parah lagi bila telinga ditutupi dengan earphone dan scroll medsos yang jelas nggak penting. 


Ah, kamu belum pernah merasakan ketagihan beribadah dengan pahala 100.000 kali lipat dibanding di tanah air. Kamu belum pernah berlomba dengan diri sendiri berjalan dari tenda Mina sampai di tempat lontar jamarat. Panas yang teramat terik, haus, berdesakan dengan berjuta orang, harus sabar dan mau mengantre, tidak bisa mendahului orang di depannya sekuat apa pun tenagamu. 


Kalau kamu pernah merasakan menunaikan ibadah haji, terutama saat berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, kamu nggak akan menyia-nyiakan waktu. Kamu akan bergegas menuju masjid begitu azan berkumandang.


Setelah saya menunaikan ibadah haji, baru saya tahu. Perjalanan yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, jaraknya amat jauh, yaitu tenda Mina (tempat mabit) ke tempat lontar jamarat adalah jalan teramat romantis yang saya lewati bersama suami, pergi pulang tiga hari. Capai? Ya. Tapi tetap pingin mengulang pada hari berikutnya. Sebenarnya lontar jamarat bisa diwakilkan, tetapi rasanya sayang kalau dilewatkan begitu saja. Saat inilah kami melihat banyak pasangan suami istri, tua dan muda, berjalan dengan semangat, penuh suka cita. Ada yang bergandengan tangan, mendorong kursi roda pasangannya, atau berjalan beriringan. Sepanjang jalan ini adalah jalan teromantis yang pernah kami lewati.


Sekarang, bila mendengar azan, saya selalu mengingat-ingat perjuangan di Armuzna. Saya ingat saat diberi ujian di Mina. Saya bisa melewati atas pertolongan Allah Yang Maha Pengasih. Sementara di tanah air ujiannya tidak berat. Udara di sekitar rumah tak sepanas di tanah suci. Jarak masjid dengan rumah tak sejauh tenda Mina dengan tempat lontar jamarat. Mau alasan apalagi?


Jalan teromantis yang pernah kami lewati adalah jalan dari tenda Mina hingga tempat lontar jamarat. Sekarang, jalan romantis yang kami lewati adalah sepanjang jalan dari rumah ke masjid.


00000

Rabu, 28 Agustus 2024

Rumah Dekat Masjid Tetapi Kaki Berat Melangkah


Tulisan ini sebagai pengingat diri sendiri. Rumah saya tidak terlalu dekat masjid.


Rumah ibu dan bapak tidak dekat masjid. Ketika masih tinggal di Suryowijayan, rumah kami jauh dari masjid. Setelah pindah ke kampung Dukuh, rumah ibu dan bapak juga tidak dekat masjid. 


Rumah mertua tidak dekat masjid. Rumah yang kami tempati sekarang juga tidak dekat masjid. Dibanding para tetangga yang tinggal di perumahan, tentu saja rumah saya lebih jauh dari masjid.


Saya sering mendengar teman-teman atau kenalan saya bersyukur karena rumahnya dekat masjid. Ada yang posisi rumahnya di depan, samping, atau masjid berada di belakang rumahnya. Buka pintu, mereka hanya cukup melangkah beberapa saja sudah sampai masjid. 


Kalau kami mengobrol, saya kadang merasa iri. Namun, sudahlah. Rezeki kami rumah jauh dari masjid. Meskipun jauh dari masjid, tidak ada alasan untuk tidak salat berjemaah di masjid. Saya dan suami berusaha untuk ke masjid dengan naik motor atau berjalan kaki.


Perumahan dekat rumah anggap saja ada 100 KK (aslinya lebih). Jemaah salat wajib shaf laki-laki maksimal 3 (anak-anak sekolah tidak dihitung). Shaf perempuan 1. Berlaku waktu salat subuh, magrib, dan isya.


Ke manakah yang lain? Ujian terberat adalah melangkahkan kaki ke masjid. Sangat berat. Padahal, ada yang tinggal buka pintu lalu melangkah sejauh 5 sampai 10 meter.


Saya pernah berada pada posisi berat melangkahkan kaki ke masjid. Ada saja alasannya, di antaranya adalah pekerjaan belum selesai. Kalau sudah begitu lalu menunda-nunda salat.


Saya jadi ingat perjuangan saat berada di tanah suci. Mau salat subuh di Masjidil Haram rela berangkat jam 3 pagi. Rela antre naik bus. Dengan mata yang masih ngantuk harus berjalan kaki dari terminal sampai di depan Ka'bah. Menunggu subuh dengan qiyamul lail. Masya Allah.


Saya selalu diingatkan dengan sebutan Haji Mabrur. Harus bisa menjaga dan istiqomah salat berjemaah di masjid. Betul-betul kena tamparan bila mendengar azan tidak segera menuju masjid.


Teman-teman! Bersyukurlah kalian yang rumahnya sangat dekat masjid. Bersyukurlah kalau kamu mendengar saklar masjid lalu lampu mati sehingga terlihat masjid gelap atau sebaliknya. Bersyukurlah. Banyak orang yang ingin berada pada posisimu.


Tinggalkan aktivitasmu ketika azan berkumandang. Ambil air wudu lalu melangkahlah ke masjid. Percayalah, hanya 15 menit maksimal kamu berada di dalam masjid. Enggak lama. Kalau sekarang berat, cobalah. Paksa! Jangan sampai rumah kita dekat masjid tetapi kaki berat melangkah. 


Saya sering bilang pada suami, dulu ketika belum menikah; saya, ibu, dan bapak selalu bareng ke masjid tiap subuh, magrib, dan isya. Semoga saya dan suami bisa istiqomah. Hidup ini buat apa tah? 


00000


Foto di atas diambil saat berada di Masjid Quba, Kota Madinah.

Senin, 26 Agustus 2024

Kau Gandeng Tanganku Menuju Masjid dan Pulang


Waktu masih remaja saya biasa menunaikan salat wajib di masjid. Salat wajib berjemaah di masjid atau mushala saya lakukan sampai sekarang. 


Yang paling berkesan akhir-akhir ini adalah salat berjemaah bersama suami. Setahun yang lalu, mau salat berjemaah harus antre naik bus. Turun dari bus harus berjalan sejauh 500 meter menuju tempat bersujud. Salatnya langsung menghadap Kabah. Alhamdulillah.


Pulang dari salat berjemaah, saya dan suami memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan sambil ngobrol. Bahan pembicaraan apa saja.


Sekarang kalau di rumah pas waktu salat wajib, kami berusaha untuk salat berjemaah di masjid. Kalau ke masjid tidak naik motor, kami berjalan kaki. Sepanjang perjalanan dari rumah sampai masjid kami bergandengan tangan.


Demikian pula ketika pulang dari masjid. Suami menggandeng tangan saya. Kami berjalan-jalan tak jauh dari rumah sambil mengingat perjalanan dari tenda Mina menuju tempat lempar jamarat. Kami mengenang saat-saat di tanah suci. Tak lupa tangan kami menekan saklar lampu penerangan jalan supaya mati.


Oya, kebiasaan suami kalau dzikir lama. Kalau saya standard saja. Biasanya saya menunggu suami selesai dzikir di emperan masjid. Jemaah yang keluar masjid hafal dengan kebiasaan saya.


"Nunggu Bapak, Bu?"

"Nggih."


Ada yang menyapa, "Nunggu Om Budi, Bulik?"

"Nggih, Pakde."


Saya tahu suami bukan tipe orang yang suka mengumbar janji-janji atau menggombal. Namun, perlakuan suami yang sederhana ini kok mengisyaratkan mengajak kembali ke tanah suci untuk menunaikan umrah. Amin. Semoga Allah kembali memanggil kami.


00000


Foto di atas diambil setelah salat Subuh di Masjid Nabawi.