Masih seputar kaki berat melangkah ke masjid padahal rumah dekat masjid. Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyindir orang-orang yang rumahnya dekat masjid. Namun, ini bentuk mengingatkan diri sendiri agar jangan malas salat berjemaah di masjid sepanjang tidak ada uzur.
Dulu ketika suami jarang berjemaah ke masjid, saya bilang, "Bapakku sudah tua (sekarang 82 tahun). Sejak dulu salat berjemaah di masjid. Kadang-kadang ya azan, ya jadi imam. Ibaratnya pahala diborong. Ayah apa nggak malu, mertua sebelum subuh sudah berangkat ke masjid, sedangkan ayah salat subuh padahal di luar sudah terang benderang?"
Alhamdulillah, sejak 2019 suami sudah mulai salat berjemaah di masjid. Waktu pandemi, diterapkan work from home. Jadi, bisa 5 waktu salat di masjid. Kebiasaan salat tepat waktu dan berjemaah di masjid, akhirnya terbawa saat di Mekah dan Madinah.
Sekarang tidak ada alasan malas pergi ke masjid. Kalau capai bisa naik sepeda atau motor. Ya, sebisa mungkin ke masjid. Kalau niat sudah kuat, semua terasa ringan. Bismillah.
Ujian mau beribadah saat berada di rumah adalah aktivitas remeh yang sayang untuk ditinggalkan. Contoh, belum selesai memasak, mencuci, menyeterika, atau mengerjakan pekerjaan lainnya. Tanggung nih. Lebih parah lagi bila telinga ditutupi dengan earphone dan scroll medsos yang jelas nggak penting.
Ah, kamu belum pernah merasakan ketagihan beribadah dengan pahala 100.000 kali lipat dibanding di tanah air. Kamu belum pernah berlomba dengan diri sendiri berjalan dari tenda Mina sampai di tempat lontar jamarat. Panas yang teramat terik, haus, berdesakan dengan berjuta orang, harus sabar dan mau mengantre, tidak bisa mendahului orang di depannya sekuat apa pun tenagamu.
Kalau kamu pernah merasakan menunaikan ibadah haji, terutama saat berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, kamu nggak akan menyia-nyiakan waktu. Kamu akan bergegas menuju masjid begitu azan berkumandang.
Setelah saya menunaikan ibadah haji, baru saya tahu. Perjalanan yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, jaraknya amat jauh, yaitu tenda Mina (tempat mabit) ke tempat lontar jamarat adalah jalan teramat romantis yang saya lewati bersama suami, pergi pulang tiga hari. Capai? Ya. Tapi tetap pingin mengulang pada hari berikutnya. Sebenarnya lontar jamarat bisa diwakilkan, tetapi rasanya sayang kalau dilewatkan begitu saja. Saat inilah kami melihat banyak pasangan suami istri, tua dan muda, berjalan dengan semangat, penuh suka cita. Ada yang bergandengan tangan, mendorong kursi roda pasangannya, atau berjalan beriringan. Sepanjang jalan ini adalah jalan teromantis yang pernah kami lewati.
Sekarang, bila mendengar azan, saya selalu mengingat-ingat perjuangan di Armuzna. Saya ingat saat diberi ujian di Mina. Saya bisa melewati atas pertolongan Allah Yang Maha Pengasih. Sementara di tanah air ujiannya tidak berat. Udara di sekitar rumah tak sepanas di tanah suci. Jarak masjid dengan rumah tak sejauh tenda Mina dengan tempat lontar jamarat. Mau alasan apalagi?
Jalan teromantis yang pernah kami lewati adalah jalan dari tenda Mina hingga tempat lontar jamarat. Sekarang, jalan romantis yang kami lewati adalah sepanjang jalan dari rumah ke masjid.
00000