Senin, 30 September 2024

Yu Simah (Cerpen)


Yu Simah pernah menghamburkan uang yang diterima dari suaminya ke hadapan suami. 


"Aku kelara-lara dibilang wong wedok angger nyekel duwit terus gage-gage le blanja."

"Seumur-umur, aku tidak pernah melakukan itu padahal aku bekerja. Dulu sebelum gaji masuk ke rekening, amplop gaji dari sekolah 100% diberikan padaku. Setelah dibagi-bagi sesuai porsi-porsinya, uang dari suami habis. Gajiku ikut terpakai untuk kebutuhan keluarga. Belum pernah sekali pun aku melemparkan uang di hadapan suami."


Yu Simah membela diri. Sayangnya Yu Simah tidak introspeksi. Sebagai tetangga yang telah kuanggap saudara, Yu Simah kalau curhat selalu tak mau mendengarkan masukan.


Pagi itu aku mengantar lauk dan sayur untuk makan siang. Wajah Yu Simah kusut.


"Ada apa?"

"Aku puas. Kemarin datang ke kantor suami. Aku ketemu pimpinannya."

"Kenapa?"

"Aku bilang pada pimpinannya bahwa suamiku dekat dengan temannya. Sering kirim pesan, saling membalas, dan kirim video-video nggak jelas."

"Terus?"

"Pimpinannya berjanji akan menyelesaikan semua itu."


Aku benar-benar tidak menyangka Yu Simah senekad itu.


Beberapa hari kemudian ketika aku sedang bersih-bersih halaman depan rumah, Yu Simah mampir.


"Yu, suamiku sekarang nggak mau ngomong. Kalau aku mendekat, dia langsung menjauh. Judheg aku."

"Kalau tidur masih seranjang, 'kan?"

"Sudah lama aku tidak tidur seranjang. Aku tidur di kamar, suami tidur di ruang tamu."

"Terus?"

"Dia tidak makan di rumah. Pagi berangkat tidak sarapan dulu. Malam hari juga tidak mau makan. Aku tawari suami cuma bilang sudah kenyang."


Sudah kubilang, jangan menyelesaikan masalah suami di sekolah. Begini akibatnya. Niatnya memberi efek jera, tapi salah langkah.


00000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar